Kamis, 29 September 2011


LAMPU MERAH

Merahku, jangan padam sebelum aku selesai. Kalimat itu yang selalu ku ucapkan ketika aku sedang berusaha menyambung nafasku. Keringat selalu kuteteskan untuk menarik iba mereka dan memperlihatkan kenistaan kami yang mereka dan mungkin anda juga tak pernah ingin saksikan meskipun hanya sekejap. Itu sungguh, mereka selalu mengharapkan lampu hijau terus menyala dalam setiap meter perjalanan mereka. Perjalanan yang kami tak pernah tahu dekat ataupun jauh, penting ataupun iseng. Yang pasti, menurut penafsiranku mereka tak pernah suka dengan kehidupan sebuah lampu berwarna menyerupai darah.
Nyala lampu merah selalu menjadi semangat kami. Sinar merahnya bagaikan api yang selalu membakar jiwa kami dan menyadarkan kami akan pentingnya menyambung nafas dengan jalan yang mungkin tak pernah diridhoi oleh tangan-tangan yang menyambung nafas kami. Tapi mungkin inilah jalan kami. Kami tak pernah ingin menjadi makhluk yang merepotkan orang lain, tapi kami tak tahu apalagi yang dapat kami lakukan lagi selain menengadah pada kaca hitam cembung disebelah kanan kemudi bundar dan pengendara murah hati.
Disini aku selalu duduk memandangi dan menunggu lampu yang tak pernah berfungsi sebagai penerang bagi yang menggunakan, tapi cukup menerangi jalan hidup kami yang terus berputar tanpa harus berjalan. Dan sampai sekarang aku masih disini menunggu tiang berwana hitam disamping kananku berubah warna menjadi kemerahan. Mungkin inilah tantangan yang harus aku terima. Sampai sekarang aku tak juga memahami apa makna dari jalan semacam ini. Hanya menunggu waktu berputar dan berputar. Sama. Menerus. Berulang. Tak pernah berubah.
Detik demi detik berlalu seiring hiruk pikuknya kendaraan yang melintas dengan tergesa gesa tepat didepan ku, diatas aspal yang hitam legam mereka saling berkejaran tanpa mempedulikan keberadaan kami dan melaju secepat cepatnya agar tak terhenti oleh sorot lampu merah, yang dapat membawa mereka dalam rasa iba yang mereka mungkin tak pernah ingin rasakan dan lihat. Dan waktu tak pernah berhenti sampai akhirnya tiang penyangga ketiga lampu itu berwana kemerahan terkena pancaran lampu merah. Mau tak mau mereka yang bergerak menuju kemanapun tujuan mereka harus berhenti menyaksikan dan andil bagaimana kami melancarkan nafas kami yang secara langsung adalah hambatan mereka. Ya, hidup kami adalah hambatan perjalanan mereka. Itu menurutku.
***
Beribu kali putaran, berjuta kendaraan melintas, berjuta pasang mata tahu. Aku tetap tak peduli. Untuk kesekian kalinya aku mendapat ini, sebuah tatapan yang begitu mencekat. Masuk dengan paksa tanpa mengetuk pintu dan tiba tiba berkata dengan ekspresi yang paling sadis, “dasar orang lemah!” Aku mencoba menghindari tatapan itu. Dan berkeliling sambil mengelap lap mobil yang sedang berhenti menunggu lampu hijau menyala. Tak hanya sepasang mata yang masuk paksa dan keluar begitu saja ketika lampu hijau menyala. Aku kembali duduk disamping tiang penyangga tiga lampu tanpa hasil. Aku terus teringat tatapan mata itu, meskipun mencoba melupakan tetapi semakin merajalela bayangan itu dikepalaku. Menantangku semakin kuat membuatku berpikir lebih keras. Apa aku memang selemah ini?
Aku sudah pernah mencoba melakukan sesuatu yang lain. Aku pernah menjadi pengedar koran KR tetapi hanya beberapa hari saja, koranku tak banyak laku dan aku mendapat cacian karena tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku memang tidak suka hidup banyak yang mengatur. Menjadi tukang semir sepatu, aku juga pernah menjalani beberapa hari. Dan tak hanya sekali aku melakukan itu, tetapi tetap sama. Dan ketika aku kembali lagi kebawah tiang ini aku seperti merasa kembali kerumahku, ketika aku dulu masih punya rumah tepatnya. Lebih baik menarik iba daripada aku mendapat caci dari orang yang tak juga menjamin kesejahteraanku, pikirku singkat kala aku meninggalkan pekerjaan sementaraku.
Sekarang aku hidup sebatangkara diusiaku yang baru menginjak belasan. Tapi aku punya banyak teman disini, aku kira aku tak perlu berpikir yang tidak tidak tentang sesuatu yang bernama takdir. Itu hanya akan menyakiti perasaanku saja. Aku juga punya keluarga disini yang selalu merasakan letihnya perjalanan tiada berhenti, yang merasakan dinginnya udara malam, tetes air hujan yang terasa sangat tajam menusuk tubuh kami yang hanya berbalut pakaian yang tak pernah kami ganti. Mereka adalah keluargaku meskipun tak selamanya mampu melindungiku.
Tak selamanya kepedihan harus dirasakan pedih, tak seharusnya tangisan dieskpresikan dengan tetesan air mata. Tangisan juga bisa kami ekspresikan dengan senyuman lembut yang dapat menghipnotis pengendara murah hati dan pengemudi dibalik kaca hitam cembung untuk berbagi dengan kami. Itulah cara kami menghibur diri sekaligus melancarkan pekerjaan kami. Aku kira jika melakukan sesuatu dengan senang hati maka hasilnya akan menyenangkan.
***
“mas, punya permen nggak?” suatu siang yang sangat terik aku mencoba meminta sesuatu yang lain dari seorang yang biasa melintas diperempatan itu, dia tidak mengendarai sepeda motor ataupun mobil. Tetapi sepeda mini berwarna jingga agak kecokelatan karena setengah karatan. Sepeda itulah yang menjadi transportasinya melintasi perempatan itu. Aku hapal betul dengan dia, meskipun dia tak punya uang recehan atau uang yang tidak receh sekalipun dia selalu mengawasi kami ketika kami beraksi. Tetapi dia lebih sering punya receh ketimbang hanya menunggu nyala lampu hijau dengan mengawasi aksi kami. Mungkin juga dia memilih untuk tidak melewati perempatan itu sama sekali ketika tak punya uang receh. Hanya dia dan Maha Tahulah yang mengerti keadaan sebenarnya.
“wah nggak punya dek” dengan nada sesal dia membiarkan aku melewatinya begitu saja. Dia selalu menebar senyum ketika melintas diperempatan itu. Meskipun lampu berwarna daun segar sedang nyala, dia tetap mengawasi keberadaan kami. Entah apa yang dia awasi dari kami, apa yang dia cari dari kami aku tak pernah mendapatkan jawaban. Aku hanya merasakan ada ketulusan disetiap pemberian receh recehnya kepada kami. Bahkan ketika dia tak memberikan sesuatu apapun, aku merasakan sedikit ketenangan jika dia melintas dan atau menunggu lampu merah padam dan digantikan nyala lampu hijau.
Dia mungkin penerang kami yang selalu kami dambakan. Tapi kami belum menyadarinya. Tatapan matanya sedikit aneh karena mata sebelah kanan dan kiri tidak simetris, namun sorotnya sangat menyejukkan, hal itu sangat nyata aku temui. Sangat berbeda dengan tatapan tajam yang mencekat itu. Yang ini memandang dari sudut yang amat beda. Sorot matanya seolah membawa harapan yang ingin dia sampaikan pada kami. Mengatakan bahwa tidak ada pekerjaan yang mulia ataupun hina. Hanya kita, kita yang melakukan pekerjaan itu yang menentukan pekerjaan kita mulia atau hina. Tatapannya selalu menambahkan semangat hidup kami, mentransfer energi positif kedalam ruh kami. Meyakinkan kami bahwa hidup sangat berarti dan harus dijalani dengan penuh kesungguhan dan diselimuti keikhlasan. Pemberian yang semacam inilah yang kami tunggu tunggu.
Entah aku yang menafsirkan sosok laki-laki muda itu terlalu berlebihan. Atau terlalu menghibur diriku sendiri dengan harapan yang aku hayalkan sendiri. Benar atau tidak aku juga tak terlalu peduli. Karena kepedulianku sudah hampir punah, tertutup dengan keringat yang terus bercucuran dari tubuhku. Ada sedikit harapan lelaki itu akan melintas disini setiap harinya. Itu yang aku inginkan.
***
Hari hari masih berjalan seperti biasa. Kendaraan yang melaju tergesa gesa berebut tempat yang sempit ditengah perempatan, betapa tidak ingin melihat lampu merahs menyala. Ada beberapa yang menerjang dengan sangat tergesa gesa, memperhatikan kanan dan kiri memastikan tidak ada kendaraan dari arah lain melintasi perempatan. Mungkin sama sekali tak pernah membayangkan menyaksikan lampu itu menyala. Aku juga masih duduk disini, memperhatikan hal yang selalu aku lihat setiap detiknya. Mengawasi apakah ada seorang bangsawan yang dermawan ingin membagi recehnya.
Sekilas aku melihat sosok laki-laki yang sudah kukenal wajahnya akan segera melintas diperempatan. Dari balik pintu mobil dengan kaca pintu yang terbuka dia tampak sedang mengawasi. Aku terus mengamati gerak geriknya.  Dan tidak salah lagi, dialah yang biasa melintas dengan sepeda mini berwarna jingga agak kecokelatan. Kali ini dia mengemudi mobil berwarna hitam dengan roda-roda besar yang memperlihatkan betapa kokohnya mobil yang sedang dia kemudi. Mungkin harga mobil itu sangat mahal. Dia benar benar seperti malaikat yang membawa sesuatu dari langit dan ingin menyampaikannya padaku.
Ketika ‘si kuning’ sudah menyala, dia tampak mengurangi kecepatan mobilnya yang melaju sangat cepat. Dan dia berhenti dibelakang garis putih tepat ketika lampu merah menyala. Aku langsung bergegas beraksi seperti biasanya. Mengelap lap kendaraan yang sedang berhenti demi mengharapkan sang pengendara akan membagi recehnya kepadaku. Tapi aku justru tidak terlalu berharap mereka akan berbagi, karena pikiranku sudah berjalan lebih dulu mendekati mobil yang sangat jarang aku lihat melintasi perempatan ini. Mobil yang didalamnya ada penunggang sepeda berwarna jingga agak kecokelatan itu.
Aku sangat penasaran dengan dia. Kenapa ada orang yang sangat aneh pikirku dalam hati yang sedang ditimpa tanda tanya besar? Apa yang sebenarnya dia cari dengan menuggangi sepeda setengah karatan itu? Aku tidak tahu apakah dia adalah pemilik mobil besar dan kokoh itu, atau hanya supir yang akan menjemput majikan. Rasa ingin tahuku semakin memuncak, dan aku terus begerak melewati satu kendaraan menuju kendaraan lainnya dan terus mendekati mobil itu. pikiranku tak pernah lepas dari mobil itu. Ketika sampai gilirannya mobil itu, dia langsung membuka penuh kaca mobil yang agak berdebu, mungkin jarang dicuci. Aku yang sedang memikul tanda tanya besar sangat kaget ketika dia dengan cepat membuka kaca mobilnya.
“hey” dengan lembut dia menyapaku. Kali ini rasanya aku mendapat beban lima kali lebih besar dari tanda tanya yang aku pikul sebelumnya. Tatapannya tak berubah, masih seperti biasanya. Hanya posisinya yang membedakan dengan biasanya. Sedikit lebih tinggi, karena mobilnya memang tinggi. Sungguh, baru dialah yang menyapaku ketika aku sedang berusaha menyambung nafas. Mungkin orang pertama dan terakhir yang pernah menyapaku dengan lembutnya.
Aku hanya tersenyum membalas sapaannya yang begitu lembut. Sekujur tubuhku terasa kaku, pikiran melayang karena tidak mampu menahan beban tanda tanya yang begitu besar. Ketika aku dalam kondisi setengah sadar itu, dia memberikan sebuah amplop putih kecil dengan senyum yang bertambah melebar menghiasi wajahnya. Sementara jiwaku belum sepenuhnya kembali ketubuh dekil ini, terdengar suara yang saling bersahutan dan kedengaran sedikit marah. Ternyata lampu hijau sudah menyala. Ketika itu baru aku sadar sepenuhnya dan langsung berlari menepi jalan kembali kebawah tiang penyangga tiga lampu. Mobil kokoh itu langsung melesat sangat cepat, sehingga aku tak bisa mengawasinya lebih lama lagi.
“jangan kau buang senyum manismu, itu sangat berharga” begitulah tulisan dikertas kecil yang disisipkan ditengah lembaran merah dengan dua buah nol disebelah kiri titik, aku juga tak mengerti apa maksud tulisan itu. Ada lebih dari lima lembar isi dari amplop putih kecil pemberian laki-laki penunggang sepeda setengah karatan. Lembaran merah itu menyala seperti lampu merah yang ditopang tiang hitam disampingku. Itu mungkin hanya imajinasiku saja, karena selama ini aku tak pernah punya uang sebanyak itu.
Aku semakin terpaku dengan kejadian beberapa detik lalu, aku masih duduk disini mengawasi kendaraan yang melaju tergesa gesa karena ‘si kuning’ telah menyala. Sampai akhirnya lampu merah menyala lagi.
pikiranku masih mengembara ketempat yang aku tidak tahu sama sekali, sampai lampu merah menyala lagi. Kali ini aku absen dari aksiku seperti biasa. Pikiranku sedang melayang menuju langit ketujuh dan mencoba mencari tahu dimana Tuhan berada. Dan mengatakan kepadaNya bahwa permintaanku sudah aku terima dariNya sebelum lampu merah padam. Yang disampaikan melalui laki-laki penunggang sepeda mini berwarna jingga agak kecokelatan karena setengah karatan.
Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar