LAMPU
MERAH
Merahku, jangan padam sebelum aku selesai.
Kalimat itu yang selalu ku ucapkan ketika aku sedang berusaha menyambung
nafasku. Keringat selalu kuteteskan untuk menarik iba mereka dan memperlihatkan
kenistaan kami yang mereka dan mungkin anda juga tak pernah ingin saksikan
meskipun hanya sekejap. Itu sungguh, mereka selalu mengharapkan lampu hijau
terus menyala dalam setiap meter perjalanan mereka. Perjalanan yang kami tak
pernah tahu dekat ataupun jauh, penting ataupun iseng. Yang pasti, menurut
penafsiranku mereka tak pernah suka dengan kehidupan sebuah lampu berwarna
menyerupai darah.
Nyala lampu merah selalu menjadi semangat
kami. Sinar merahnya bagaikan api yang selalu membakar jiwa kami dan
menyadarkan kami akan pentingnya menyambung nafas dengan jalan yang mungkin tak
pernah diridhoi oleh tangan-tangan yang menyambung nafas kami. Tapi mungkin
inilah jalan kami. Kami tak pernah ingin menjadi makhluk yang merepotkan orang
lain, tapi kami tak tahu apalagi yang dapat kami lakukan lagi selain menengadah
pada kaca hitam cembung disebelah kanan kemudi bundar dan pengendara murah
hati.
Disini aku selalu duduk memandangi dan
menunggu lampu yang tak pernah berfungsi sebagai penerang bagi yang menggunakan,
tapi cukup menerangi jalan hidup kami yang terus berputar tanpa harus berjalan.
Dan sampai sekarang aku masih disini menunggu tiang berwana hitam disamping
kananku berubah warna menjadi kemerahan. Mungkin inilah tantangan yang harus
aku terima. Sampai sekarang aku tak juga memahami apa makna dari jalan semacam
ini. Hanya menunggu waktu berputar dan berputar. Sama. Menerus. Berulang. Tak
pernah berubah.
Detik demi detik berlalu seiring hiruk
pikuknya kendaraan yang melintas dengan tergesa gesa tepat didepan ku, diatas
aspal yang hitam legam mereka saling berkejaran tanpa mempedulikan keberadaan
kami dan melaju secepat cepatnya agar tak terhenti oleh sorot lampu merah, yang
dapat membawa mereka dalam rasa iba yang mereka mungkin tak pernah ingin
rasakan dan lihat. Dan waktu tak pernah berhenti sampai akhirnya tiang
penyangga ketiga lampu itu berwana kemerahan terkena pancaran lampu merah. Mau
tak mau mereka yang bergerak menuju kemanapun tujuan mereka harus berhenti
menyaksikan dan andil bagaimana kami melancarkan nafas kami yang secara
langsung adalah hambatan mereka. Ya, hidup kami adalah hambatan perjalanan
mereka. Itu menurutku.
***
Beribu kali putaran, berjuta kendaraan
melintas, berjuta pasang mata tahu. Aku tetap tak peduli. Untuk kesekian
kalinya aku mendapat ini, sebuah tatapan yang begitu mencekat. Masuk dengan
paksa tanpa mengetuk pintu dan tiba tiba berkata dengan ekspresi yang paling
sadis, “dasar orang lemah!” Aku mencoba menghindari tatapan itu. Dan
berkeliling sambil mengelap lap mobil yang sedang berhenti menunggu lampu hijau
menyala. Tak hanya sepasang mata yang masuk paksa dan keluar begitu saja ketika
lampu hijau menyala. Aku kembali duduk disamping tiang penyangga tiga lampu
tanpa hasil. Aku terus teringat tatapan mata itu, meskipun mencoba melupakan
tetapi semakin merajalela bayangan itu dikepalaku. Menantangku semakin kuat
membuatku berpikir lebih keras. Apa aku memang selemah ini?
Aku sudah pernah mencoba melakukan sesuatu
yang lain. Aku pernah menjadi pengedar koran KR tetapi hanya beberapa hari
saja, koranku tak banyak laku dan aku mendapat cacian karena tidak mendapatkan
hasil yang memuaskan. Aku memang tidak suka hidup banyak yang mengatur. Menjadi
tukang semir sepatu, aku juga pernah menjalani beberapa hari. Dan tak hanya
sekali aku melakukan itu, tetapi tetap sama. Dan ketika aku kembali lagi
kebawah tiang ini aku seperti merasa kembali kerumahku, ketika aku dulu masih
punya rumah tepatnya. Lebih baik menarik iba daripada aku mendapat caci dari
orang yang tak juga menjamin kesejahteraanku, pikirku singkat kala aku
meninggalkan pekerjaan sementaraku.
Sekarang aku hidup sebatangkara diusiaku
yang baru menginjak belasan. Tapi aku punya banyak teman disini, aku kira aku
tak perlu berpikir yang tidak tidak tentang sesuatu yang bernama takdir. Itu
hanya akan menyakiti perasaanku saja. Aku juga punya keluarga disini yang
selalu merasakan letihnya perjalanan tiada berhenti, yang merasakan dinginnya
udara malam, tetes air hujan yang terasa sangat tajam menusuk tubuh kami yang
hanya berbalut pakaian yang tak pernah kami ganti. Mereka adalah keluargaku
meskipun tak selamanya mampu melindungiku.
Tak selamanya kepedihan harus dirasakan
pedih, tak seharusnya tangisan dieskpresikan dengan tetesan air mata. Tangisan
juga bisa kami ekspresikan dengan senyuman lembut yang dapat menghipnotis
pengendara murah hati dan pengemudi dibalik kaca hitam cembung untuk berbagi
dengan kami. Itulah cara kami menghibur diri sekaligus melancarkan pekerjaan
kami. Aku kira jika melakukan sesuatu dengan senang hati maka hasilnya akan menyenangkan.
***
“mas, punya permen nggak?” suatu siang yang
sangat terik aku mencoba meminta sesuatu yang lain dari seorang yang biasa
melintas diperempatan itu, dia tidak mengendarai sepeda motor ataupun mobil. Tetapi
sepeda mini berwarna jingga agak kecokelatan karena setengah karatan. Sepeda
itulah yang menjadi transportasinya melintasi perempatan itu. Aku hapal betul
dengan dia, meskipun dia tak punya uang recehan atau uang yang tidak receh
sekalipun dia selalu mengawasi kami ketika kami beraksi. Tetapi dia lebih
sering punya receh ketimbang hanya menunggu nyala lampu hijau dengan mengawasi
aksi kami. Mungkin juga dia memilih untuk tidak melewati perempatan itu sama
sekali ketika tak punya uang receh. Hanya dia dan Maha Tahulah yang mengerti
keadaan sebenarnya.
“wah nggak punya dek” dengan nada sesal dia
membiarkan aku melewatinya begitu saja. Dia selalu menebar senyum ketika
melintas diperempatan itu. Meskipun lampu berwarna daun segar sedang nyala, dia
tetap mengawasi keberadaan kami. Entah apa yang dia awasi dari kami, apa yang
dia cari dari kami aku tak pernah mendapatkan jawaban. Aku hanya merasakan ada
ketulusan disetiap pemberian receh recehnya kepada kami. Bahkan ketika dia tak
memberikan sesuatu apapun, aku merasakan sedikit ketenangan jika dia melintas
dan atau menunggu lampu merah padam dan digantikan nyala lampu hijau.
Dia mungkin penerang kami yang selalu kami
dambakan. Tapi kami belum menyadarinya. Tatapan matanya sedikit aneh karena
mata sebelah kanan dan kiri tidak simetris, namun sorotnya sangat menyejukkan,
hal itu sangat nyata aku temui. Sangat berbeda dengan tatapan tajam yang
mencekat itu. Yang ini memandang dari sudut yang amat beda. Sorot matanya
seolah membawa harapan yang ingin dia sampaikan pada kami. Mengatakan bahwa
tidak ada pekerjaan yang mulia ataupun hina. Hanya kita, kita yang melakukan
pekerjaan itu yang menentukan pekerjaan kita mulia atau hina. Tatapannya selalu
menambahkan semangat hidup kami, mentransfer energi positif kedalam ruh kami.
Meyakinkan kami bahwa hidup sangat berarti dan harus dijalani dengan penuh
kesungguhan dan diselimuti keikhlasan. Pemberian yang semacam inilah yang kami
tunggu tunggu.
Entah aku yang menafsirkan sosok laki-laki
muda itu terlalu berlebihan. Atau terlalu menghibur diriku sendiri dengan
harapan yang aku hayalkan sendiri. Benar atau tidak aku juga tak terlalu
peduli. Karena kepedulianku sudah hampir punah, tertutup dengan keringat yang
terus bercucuran dari tubuhku. Ada sedikit harapan lelaki itu akan melintas
disini setiap harinya. Itu yang aku inginkan.
***
Hari hari masih berjalan seperti biasa.
Kendaraan yang melaju tergesa gesa berebut tempat yang sempit ditengah
perempatan, betapa tidak ingin melihat lampu merahs menyala. Ada beberapa yang
menerjang dengan sangat tergesa gesa, memperhatikan kanan dan kiri memastikan
tidak ada kendaraan dari arah lain melintasi perempatan. Mungkin sama sekali
tak pernah membayangkan menyaksikan lampu itu menyala. Aku juga masih duduk
disini, memperhatikan hal yang selalu aku lihat setiap detiknya. Mengawasi
apakah ada seorang bangsawan yang dermawan ingin membagi recehnya.
Sekilas aku melihat sosok laki-laki yang
sudah kukenal wajahnya akan segera melintas diperempatan. Dari balik pintu
mobil dengan kaca pintu yang terbuka dia tampak sedang mengawasi. Aku terus
mengamati gerak geriknya. Dan tidak
salah lagi, dialah yang biasa melintas dengan sepeda mini berwarna jingga agak
kecokelatan. Kali ini dia mengemudi mobil berwarna hitam dengan roda-roda besar
yang memperlihatkan betapa kokohnya mobil yang sedang dia kemudi. Mungkin harga
mobil itu sangat mahal. Dia benar benar seperti malaikat yang membawa sesuatu
dari langit dan ingin menyampaikannya padaku.
Ketika ‘si kuning’ sudah menyala, dia
tampak mengurangi kecepatan mobilnya yang melaju sangat cepat. Dan dia berhenti
dibelakang garis putih tepat ketika lampu merah menyala. Aku langsung bergegas
beraksi seperti biasanya. Mengelap lap kendaraan yang sedang berhenti demi
mengharapkan sang pengendara akan membagi recehnya kepadaku. Tapi aku justru
tidak terlalu berharap mereka akan berbagi, karena pikiranku sudah berjalan
lebih dulu mendekati mobil yang sangat jarang aku lihat melintasi perempatan
ini. Mobil yang didalamnya ada penunggang sepeda berwarna jingga agak
kecokelatan itu.
Aku sangat penasaran dengan dia. Kenapa ada
orang yang sangat aneh pikirku dalam hati yang sedang ditimpa tanda tanya besar?
Apa yang sebenarnya dia cari dengan menuggangi sepeda setengah karatan itu? Aku
tidak tahu apakah dia adalah pemilik mobil besar dan kokoh itu, atau hanya supir
yang akan menjemput majikan. Rasa ingin tahuku semakin memuncak, dan aku terus
begerak melewati satu kendaraan menuju kendaraan lainnya dan terus mendekati
mobil itu. pikiranku tak pernah lepas dari mobil itu. Ketika sampai gilirannya
mobil itu, dia langsung membuka penuh kaca mobil yang agak berdebu, mungkin
jarang dicuci. Aku yang sedang memikul tanda tanya besar sangat kaget ketika
dia dengan cepat membuka kaca mobilnya.
“hey” dengan lembut dia menyapaku. Kali ini
rasanya aku mendapat beban lima kali lebih besar dari tanda tanya yang aku
pikul sebelumnya. Tatapannya tak berubah, masih seperti biasanya. Hanya
posisinya yang membedakan dengan biasanya. Sedikit lebih tinggi, karena
mobilnya memang tinggi. Sungguh, baru dialah yang menyapaku ketika aku sedang
berusaha menyambung nafas. Mungkin orang pertama dan terakhir yang pernah
menyapaku dengan lembutnya.
Aku hanya tersenyum membalas sapaannya yang
begitu lembut. Sekujur tubuhku terasa kaku, pikiran melayang karena tidak mampu
menahan beban tanda tanya yang begitu besar. Ketika aku dalam kondisi setengah
sadar itu, dia memberikan sebuah amplop putih kecil dengan senyum yang bertambah
melebar menghiasi wajahnya. Sementara jiwaku belum sepenuhnya kembali ketubuh
dekil ini, terdengar suara yang saling bersahutan dan kedengaran sedikit marah.
Ternyata lampu hijau sudah menyala. Ketika itu baru aku sadar sepenuhnya dan
langsung berlari menepi jalan kembali kebawah tiang penyangga tiga lampu. Mobil
kokoh itu langsung melesat sangat cepat, sehingga aku tak bisa mengawasinya
lebih lama lagi.
“jangan kau buang senyum manismu, itu
sangat berharga” begitulah tulisan dikertas kecil yang disisipkan ditengah lembaran
merah dengan dua buah nol disebelah kiri titik, aku juga tak mengerti apa
maksud tulisan itu. Ada lebih dari lima lembar isi dari amplop putih kecil
pemberian laki-laki penunggang sepeda setengah karatan. Lembaran merah itu
menyala seperti lampu merah yang ditopang tiang hitam disampingku. Itu mungkin
hanya imajinasiku saja, karena selama ini aku tak pernah punya uang sebanyak
itu.
Aku semakin terpaku dengan kejadian
beberapa detik lalu, aku masih duduk disini mengawasi kendaraan yang melaju
tergesa gesa karena ‘si kuning’ telah menyala. Sampai akhirnya lampu merah
menyala lagi.
pikiranku masih mengembara ketempat yang
aku tidak tahu sama sekali, sampai lampu merah menyala lagi. Kali ini aku absen
dari aksiku seperti biasa. Pikiranku sedang melayang menuju langit ketujuh dan
mencoba mencari tahu dimana Tuhan berada. Dan mengatakan kepadaNya bahwa permintaanku
sudah aku terima dariNya sebelum lampu merah padam. Yang disampaikan melalui
laki-laki penunggang sepeda mini berwarna jingga agak kecokelatan karena
setengah karatan.
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar